Selasa, 21 April 2009

Pentingkah arsitektur disandingkan dengan perilaku-lingkungan?


Brent C. Brolin dalam bukunya The Failure of Modern Architecture mengemukakan bahwa salah satu kesalahan terbesar sehingga langgam modern mengalami keruntuhan yakni tidak adanya harmonisasi dan asimilasi antara desain dengan konteksnya.

Modern architecture intentionally defies its older neighbors rather than standing beside them in peace. It tries to shock rather than symphatize. (Brolin, 1976:8)

Telah banyak contoh karya arsitektur yang gagal dalam menampung aspirasi dan apresiasi penggunanya. Brolin (1976:88-103) menceritakan secara detail mengapa karya sang maestro Le Corbu dapat tidak tepat guna di Chandigarh. Jika kita mencari melalui google lalu mengetik failure architecture pada kata kunci, maka akan muncul beberapa kilasan mengenai tragedi Pruitt Igoe. Tidak ada yang salah dengan karya-karya tersebut. Sang arsitek-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas hasil penciptaannya.

Untuk meminimalisir terjadinya malpraktek tersebut, hendaknya perancang/arsitek mengerti terlebih dahulu konteks lingkungan yang akan ia rancang. Dan untuk mengerti/Tahu dengan ‘Benar’, pengetahuan tersebut terakomodasi dalam bidang psikologi lingkungan (Environmental Psychology/EP). Gifford (1987 dalam Gunther, 2009) mendefinisikan EP sebagai studi mengenai transaksi antara individu (manusia) dengan setting fisiknya. Senada dengan Gifford, Stokols dan Altman (1987 dalam Gunther, 2009) mendefinisikan EP sebagai studi mengenai perilaku manusia dan kesejahteraannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosio-fisikalnya. Dalam perkembangannya, EP didefinisikan Moser (2006 dalam Gunther, 2009) sebagai hubungan resiprokal/timbal-balik antara individu (baik itu kelompok maupun komunitas) dengan lingkungan sosial dan fisiknya, termediasi melalui sajian sosial, yang belakangan dipahami sebagai pengalaman dan perilaku bersama. Akhir-akhir ini banyak penelitian mengenai EP yang diorientasikan pada perspektif ekologikal (Winkela et al, 2009), sama pula halnya yang terjadi di arsitektur yang bertujuan dasar untuk mencari cara untuk mengharmonisasikan kehidupan manusia dengan alam (lihat gambar 1).


Gambar 1. Hubungan antara Perilaku dan Lingkungan melalui variabel setting.

(Sumber: Gunther, 2009)

Brolin (1968) menganjurkan agar sebelum merancang sebuah kawasan, perancang hendaknya memperhatikan implikasi sosial dari lingkungan fisik eksisting. Meskipun mudah, namun tidak sedikit arsitek yang melewatkan aspek ini sehingga masalah yang timbul belakangan menjadi tanggung jawab pengguna. Secara profesional, sang arsitek mustinya yang paling bertanggung jawab dan hal tersebut dapat dihindari dengan melalukan observasi awal terhadap dampak sosial dan lingkungan serta indikator konflik. Observasi tersebut dapat dilakukan dengan; 1. melihat perilaku dan 2. melihat lingkungannya (Brolin, 1968). Dari sini dapat dilihat keterkaitan ilmu perancangan dengan ilmu perilaku yang saling bersinergi.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat perkembangan signifikan dari keilmuan EP (lihat tabel 1). Keterkaitannya dengan bidang arsitektural sangat jelas terlihat dimana peranan studi psikologi lingkungan mencakup pemahaman mendalam yang harus dilakukan perancang dalam merancang rancangannya. Tidak hanya saat tahap perencanaan, namun melingkupi proses, hasil bahkan hingga tahap penggunaan hasil rancangan tersebut.

Tabel 1. Perkembangan studi mengenai lingkungan-perilaku


(Sumber: Giuliani dan Scopelliti, 2009)

Dalam bidang keilmuan EP, terdapat sinergi antara disiplin ilmu yang di dalamnya terdapat keterkaitan antara satu sama lain (lihat gambar 2). Oscar Niemeyer mengatakan bahwa tugas terberat dari arsitektur adalah membuat kebaikan. Arsitektur pun dalam tujuannya membawa ’kebaikan’ harusnya mengakui bahwa tanpa lingkungan, ia tak bisa berdiri sendiri. Untuk itu hendaknya merangkul semua disiplin untuk bersinergi sehingga sesuai dengan tuntutan dasar fungsi dari arsitektur itu sendiri yakni sebagai wadah berkegiatan manusia dapat tercapai secara tepat guna. Bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan Kurt Lewin, yang seharusnya dilakukan saat ini yakni:

nothing would be so practical as a good integration of different theories’.

Sebab yang terpenting adalah bukan masalah teori mana yang akan kita pakai dalam menghadapi masalah lingkungan, namun yang lebih penting adalah pilihan anda untuk segera bertindak (Winter dan Koger, 2004 dalam Gunther, 2009), bertindak untuk segera menangani permasalahan dekadensi nilai dalam arsitektur itu sendiri.


Gambar 2. Hubungan multi-lateral dari berbagai bidang disiplin ilmu yang berbeda pada Environment-Behavior Studies dalam mempelajari hubungan antara lingkungan dan perilaku.

(Sumber: Gunther, 2009)

Referensi

Brolin, Brent C. and John Zeisel. 1968. Mass Housing: Social Research and Design. Architectural Forum, July/August 1968 diakses melalui situs resmi Brent C. Brolin pada 23 Maret 2009.

Brolin, Brent C. 1976. The Failure of Modern Architecture. NY: VNR.

Giuliani, Maria V. and Massimiliano Scopelliti. 2009. Empirical research in environmental psychology: Past, present, and future. Copyright © 2009 Elsevier diakses 20 April 2009.

Günther, Hartmut. 2009. The Environmental Psychology of Research. Journal of Environmental Psychology diakses 20 April 2009.

Winkela, Gary and Susan Saegerta and Gary W. Evansb. 2009. An ecological perspective on theory, methods, and analysis in environmental psychology: Advances and challenges. Copyright © 2009 Elsevier diakses 20 April 2009.